Generasi Z Dilarang Kaya oleh Sistem – Ini Buktinya! - genzii

08/03/25

Generasi Z Dilarang Kaya oleh Sistem – Ini Buktinya!

 Mengapa Sistem Ekonomi dan Sosial Hari Ini Menghambat Generasi Z Mencapai Kebebasan Finansial?

Mimpi Generasi Z di Tengah Realita yang Pahit


Generasi Z (lahir 1997–2012) tumbuh di era digital, di mana akses informasi dan teknologi seharusnya membuka pintu peluang tak terbatas. 

Mereka dijanjikan masa depan cerah: menjadi pengusaha muda, kreator konten sukses, atau profesional dengan gaji fantastis. 

Namun, realitanya, banyak dari mereka justru terjebak dalam lingkaran ketidakpastian ekonomi. 

Upah minim, biaya hidup melambung, utang pendidikan, dan sistem yang tidak ramah pada generasi muda membuat mimpi menjadi kaya terasa seperti ilusi.

Kucing miskin



Pertanyaannya: Benarkah sistem hari ini "melarang" Generasi Z untuk kaya?

Artikel ini akan membongkar fakta-fakta nyata, data, dan cerita inspiratif yang membuktikan bahwa tantangan yang dihadapi Gen Z bukan sekadar masalah individu, melainkan kegagalan struktural yang perlu diubah.

Sistem Pendidikan yang Tidak Membekali Keterampilan Finansial


Kurikulum yang Terjebak di Abad 20


Sekolah dan universitas masih fokus pada teori dan hafalan, bukan keterampilan praktis seperti financial literacy, investasi, atau manajemen risiko. 

Survei OJK (2023) menunjukkan hanya 12% Gen Z di Indonesia yang paham tentang saham, reksadana, atau aset digital. 

Akibatnya, mereka masuk ke dunia kerja tanpa tahu cara mengelola uang, berinvestasi, atau melindungi diri dari utang.

Utang Pendidikan vs. Upah Minim

Biaya kuliah meningkat 3x lipat dalam 20 tahun terakhir, sementara upah entry-level stagnan. Di AS, total utang pelajar mencapai $1.7 triliun (2023). 

Di Indonesia, lulusan fresh graduate sering dibayar Rp3–5 juta/bulan, sementara biaya hidup di kota besar seperti Jakarta bisa mencapai Rp7 juta/bulan. 

Utang vs. pendapatan tidak seimbang membuat Gen Z sulit menabung, apalagi berinvestasi.

Ilmu yang Tidak Relevan dengan Pasar Kerja

Banyak jurusan kuliah tidak lagi menjamin pekerjaan. Misalnya, lulusan sastra atau teknik yang akhirnya bekerja di bidang tidak sesuai. 

Sementara itu, keterampilan seperti pemrograman, analisis data, atau digital marketing justru lebih dibutuhkan. 

Sistem pendidikan lambat beradaptasi, sehingga Gen Z harus belajar mandiri melalui kursus online atau bootcamp—yang lagi-lagi membutuhkan biaya.

Ekonomi Gig yang Mengeksploitasi Generasi Muda

Mitos "Freelance = Kebebasan"


Platform seperti Gojek, Grab, atau Upwork menjanjikan fleksibilitas, tetapi upah per proyek seringkali tidak manusiawi. 

Driver ojek online bisa bekerja 12 jam/hari hanya untuk penghasilan Rp200 ribu, sementara freelancer di bidang kreatif dibayar Rp50 ribu/desain. 

Tidak ada jaminan kesehatan, pensiun, atau cuti—semua risiko ditanggung pekerja.

Generasi Z Terjebak dalam Hustle Culture


Tekanan untuk "side hustle" atau punya banyak sumber penghasilan dipuji sebagai etos kerja, tetapi justru membuat Gen Z kelelahan mental. 

Survei Deloitte (2023) menemukan bahwa 46% Gen Z merasa stres karena tekanan finansial, sementara 38% bekerja lebih dari satu pekerjaan.

Ketimpangan Upah Antar Generasi


Upah Gen Z (usia 18–24) 30% lebih rendah dibanding generasi sebelumnya di usia yang sama (data ILO, 2022). 

Di Indonesia, upah minimum hanya naik 1–5% per tahun, jauh di bawah inflasi yang mencapai 6–7%.

Sistem Perumahan dan Properti yang Tidak Terjangkau


Harga Rumah vs. Penghasilan


Di Jakarta, harga rumah rata-rata Rp1,5 miliar, sementara penghasilan bulanan Gen Z Rp5–7 juta. 

Untuk membeli rumah, mereka perlu menabung 20 tahun tanpa mengeluarkan uang sepeser pun—sebuah kemustahilan.

Sewa Kontrakan yang Menggerus Tabungan

Biaya sewa kamar kos di kota besar bisa menghabiskan 30–50% dari gaji. Akibatnya, Gen Z sulit mengumpulkan modal usaha atau investasi.

Generasi "Rent Forever"?

Di Eropa dan AS, 70% Gen Z diperkirakan tidak akan pernah memiliki properti (Laporan Goldman Sachs, 2023). Di Indonesia, tren serupa mulai terlihat, terutama di kalangan pekerja muda.

Teknologi dan Media Sosial yang Menjadi Pisau Bermata Dua

Pressure untuk Tampil "Sukses" di Media Sosial

Platform seperti Instagram atau TikTok membanjiri Gen Z dengan konten kemewahan: liburan ke Bali, mobil mewah, atau brand clothing mahal. Tanpa disadari, ini memicu gaya hidup konsumtif dan FOMO (Fear of Missing Out). Banyak Gen Z terjerat utang kartu kredit demi menjaga citra.

Eksploitasi Data dan Precarity di Ekosistem Digital


Startup unicorn seperti TikTok atau Shopee menghasilkan miliaran dolar dari data dan tenaga Gen Z (sebagai kreator atau kurir), tetapi tidak memberikan kompensasi yang adil. 

Contoh: kreator konten dengan 100 ribu follower hanya dibayar Rp500 ribu/video iklan.

Disrupsi AI yang Mengancam Lapangan Kerja

Automation dan AI diprediksi menggantikan 40% pekerjaan entry-level pada 2030 (McKinsey, 2022). Gen Z yang baru masuk ke dunia kerja justru menghadapi risiko terbesar.

Solusi untuk Melawan Sistem – Kisah Inspiratif Generasi Z yang Berhasil

Pendidikan Alternatif: Belajar Mandiri dan Komunitas

Contoh Sukses: Rara (22), lulusan SMA yang belajar coding via YouTube, kini jadi software engineer dengan gaji Rp15 juta/bulan.

Komunitas seperti Akademi Kreator atau Startup Studio membantu Gen Z mengakses pelatihan gratis.

Investasi Kecil-kecilan yang Bisa Dilakukan Sekarang

Reksadana syariah dengan modal Rp100 ribu.

Aset digital seperti NFT atau cryptocurrency (meski berisiko tinggi).

Bisnis mikro: jualan online, jadi reseller, atau print on demand.

Tekanan untuk Reformasi Kebijakan

  • Dorongan upah minimum yang sesuai inflasi.
  • Subsidi pelatihan vokasi dari pemerintah.
  • Regulasi yang melindungi pekerja gig economy.

Mentalitas "Anti-Mager" (Melawan Malas Gerak)

Kisah inspiratif Arif (24), mantan driver ojek yang kini punya usaha cuci sepatu dengan omzet Rp20 juta/bulan. Kuncinya: konsistensi dan berani mengambil risiko.

Penutup: Generasi Z Bisa Kaya – Jika Sistem Dirombak dan Pola Pikir Diubah

Sistem ekonomi hari ini memang tidak dirancang untuk memihak Generasi Z. 

Namun, dengan kombinasi advokasi kebijakan, pendidikan mandiri, dan mentalitas wirausaha, mereka bisa menciptakan jalan sendiri. 

Yang diperlukan bukan hanya kerja keras, tetapi juga kesadaran kolektif untuk menuntut perubahan.

Pertanyaan Refleksi:

Apa satu langkah kecil yang bisa kamu lakukan hari ini untuk mulai membangun kekayaan?

Bagaimana cara kita, sebagai masyarakat, mendukung Generasi Z mewujudkan mimpi finansial mereka?

Artikel ini ditulis bukan untuk membuat Generasi Z menyerah, tetapi untuk membuka mata: kekayaan mungkin sulit diraih, tetapi bukan tidak mungkin. 


Dengan pengetahuan dan strategi yang tepat, kamu bisa melawan sistem!

Genesia X – Berani Bermimpi, Berani Berubah.

Share with your friends

Featured

[Featured][recentbylabel]