“Momo, kamu tahu nggak sih… Kadang aku bingung, kenapa ya di kantor ada orang yang tiba-tiba *ghosting* pas meeting? Atau ada yang *vibe*-nya *toxic* kayak TikTok tren ‘Aku vs Rekan Kerja yang Gaslighting’?”*
Sambil mengelus Momo yang lagi *mood* duduk di pangkuan, aku merenung. Sebagai Gen Z yang baru masuk dunia kerja 2 tahun lalu, aku sering bertanya: **Apa yang membuat tim bisa *click* atau justru *collapse*?** Jawabannya ternyata nggak cuma skill teknis atau *IQ*, tapi **keterampilan emosional**—terutama **empati**.
Nah, di artikel ini, aku mau bahas kenapa empati itu senjata pamungkas Gen Z untuk membangun kolaborasi tim yang solid. Plus, tentu saja, aku akan selipin cerita konyol Momo yang suka *judge* ekspresi Zoom meetingku!
1. Apa Itu Empati? Bukan Cuma “Aduh Kasian Ya…”
Empati itu bukan sekadar *feeling sorry* buat orang lain. Menurut psikolog, empati adalah kemampuan untuk **merasakan emosi orang lain**, memahami perspektif mereka, dan merespons dengan tepat. Di dunia kerja, ini berarti:
- Bisa *decode* ekspresi wajah rekan saat mereka *overwhelmed*.
- Menahan diri untuk nggak *reply* chat pakai “OK” kering saat tahu teman lagi stres.
- *Ngestuck* di tengah *deadline*, tapi tetap mau *backup* anggota tim yang kewalahan.
*Contoh real life?* Suatu hari, Momo ngamuk gegara aku lupa kasih makan. Aku yang tadinya kesal, tiba-tiba sadar: *“Dia cuma lapar, bukan berniat bikin aku telat meeting!”* Nah, kalau ke kucing aja kita bisa belajar empati, masa ke manusia nggak?
---
### **2. Gen Z di Kantor: Generasi Paling “Sadar Emosi” Tapi Sering Dicap “Sensi”**
Sebagai Gen Z, kita tumbuh di era dijamin mental health awareness, *therapy TikTok*, dan *meme* depresi. Kita berani bilang: *“Aku butuh *mental break day*”* tanpa malu. Tapi di mata generasi sebelumnya, ini sering dianggap “lemah” atau “kepribadian kaca”.
Padahal, **empati adalah bentuk kekuatan**. Data dari Deloitte (2023) menyebut 75% Gen Z memilih perusahaan yang peduli kesejahteraan mental. Kita nggak mau kerja di tempat yang *vibe*-nya kayak *Black Mirror* episode *”Toxic Corporate Dystopia”*.
*Tantangannya?* Saat kita mencoba membawa empati ke tim yang masih *old-school*, responsnya sering:
- *“Kerjaan bukan tempat curhat!”*
- *“Jangan baperan dikit!”*
Tapi di situlah kita harus **memberi contoh**: Empati bukan berarti *ngemis-ngemis validasi*, tapi menciptakan lingkungan di mana semua orang merasa *safe to be human*.
3. *Soft Skill* vs *Real Skill*: Empati Bikin Performa Tim Naik 40%?
Ada mitos bahwa empati nggak *measurable*. Faktanya, penelitian Google (*Project Aristotle*) membuktikan tim dengan **psychological safety** (hasil dari empati) punya produktivitas 40% lebih tinggi.
Contoh kasus: Di kantorku, ada proyek di mana dua anggota tim beda generasi ribut terus. Aku dan tim Gen Z lainnya ngajakin mereka *coffee chat* virtual (sambil pake filter kucing biar *ice breaking*). Ternyata, si senior ternyata stres karena khawatir kehilangan pekerjaan, sementara junior merasa di-*micromanage*. Setelah saling memahami, kolaborasi mereka jadi lancar—bahkan proyeknya menang penghargaan!
*Lesson learned*: Empati itu kayak **kartu cheat** buat *unlock* potensi tim!
4. *How to Practice Empathy*: Mulai dari Hal Receh Kayak Chat hingga *Body Language*
Empati nggak perlu muluk-muluk. Berikut tips praktis ala Gen Z:
- **Gunakan *emoji* dengan bijak**: Kirim 🫂 saat tahu teman lagi banyak masalah, bukan sekadar 👍.
- **Dengarkan *without waiting for your turn to speak***: Seperti waktu Momo *meong* 10 menit nonstop dan aku cuma bisa angguk-angguk.
- **Perhatikan *tanda kecil***: Misal, rekanmu yang biasa *fast response* tiba-tiba *ghosting*—bisa jadi dia sedang krisis. Coba tanya: *“Hey, are you okay? I’m here if you need to talk.”*
Jangan lupa, **empati ke diri sendiri** juga penting! Kalau kamu lagi burnout, nggak perlu maksain bilang *“I’m fine”* kayak lagu Britney Spears.
5. Saat Empati “Nggak Dibayar”: Hadapi Tim yang *Emotionally Illiterate*
Aku pernah kerja di tim di mana bosku bilang: *“Kalau mau curhat, bayar psikolog sendiri!”*. Frustasi? Pasti. Tapi sebagai Gen Z, kita punya *power* untuk **men-set standar**.
Caranya:
- **Bicara pakai data**: “Penelitian menunjukkan tim yang berempati punya turnover 30% lebih rendah.”
- **Ajukan solusi konkret**: “Bagaimana kalau kita mulai meeting dengan *check-in* singkat soal kondisi mental?”
- **Jadi *role model***: Saat ada yang *error*, tanya *“Apa yang kamu butuhkan?”* alih-alih nyalahin.
Jika lingkungan kerjamu benar-benar *toxic*, ingat: **Kamu berhak cari tempat yang menghargai empatimu**.
6. *The Future is Empathic*: Gen Z Akan *Rewrite the Rules*
Kita adalah generasi yang menolak *hustle culture*, *quiet quitting*, dan *girlboss gaslighting*. Dengan empati, kita bisa membangun tempat kerja di mana:
- *Feedback* diberikan dengan *respect*, bukan *roasting*.
- *Work-life balance* bukan mitos.
- Keberagaman dirayakan, bukan sekadar *diversity quota*.
Seperti Momo yang selalu datang menghibur saat aku sedih—tanpa diminta, tanpa menghakimi—kita bisa menciptakan budaya kerja yang *supportive* dan manusiawi.
**Penutup:**
Jadi, ke mana pun kamu bekerja, ingat: **Empati bukan kelemahan, tapi *superpower* Gen Z**. Yuk, mulai dari hal kecil: tanyakan kabar rekan kerjamu, *notice* ketika ada yang *off*, dan jangan lupa… kasih makan kucingnya biar nggak ngamuk kayak Momo!
*“Momo, kamu setuju kan? Eh, Momo… jangan tidur dong, aku lagi pidato ini!”*
**P.S.** Komen di bawah pengalamanmu soal empati di tempat kerja—atau cerita kucingmu yang judes kayak bos! 😼
